Lestari Alamku, menjadi Selaras Hidupku

Lestari alamku lestari desaku
Dimana Tuhanku menitipkan aku
Nyanyi bocah-bocah di kala purnama
Nyanyikan pujaan untuk nusa

Damai saudaraku suburlah bumiku
Kuingat ibuku dongengkan cerita
Kisah tentang jaya nusantara lama
Tentram kartaraharja di sana

………………….
Masih ingatkah kita akan lagu karangan Gombloh tersebut? Rindukah kita akan masa kecil kita dulu dimana kita masih bebas untuk bermain bersama alam, berlari-lari di padang rumput yang luas, menangkap belalang yang hidup di semak dan rerumputan dan menghabiskan hari libur untuk berpiknik di bawah pohon sambil memancing ikan di sungai. Sungguh menyenangkan bukan?

Alam telah banyak mengajarkan berbagai hal kepada kita dimana ia akan selalu memberi segala apa yang kita butuhkan tanpa meminta balasan sedikitpun. Alam bagaikan seorang Ibu yang dengan ikhlas selalu mengayomi anak-anaknya untuk terus belajar menghargai apa saja yang ada di sekitarnya.

Namun, sejatinya manusia adalah makhluk yang juga dikaruniai nafsu. Lewat cerita orang Indian, kita seolah diberikan sebuah pelajaran tentang hidup. Diceritakan bahwa di dalam diri manusia itu ada sebuah lubang yang akan terus menghisap apa yang diberikan oleh alam sampai tidak akan ada lagi yang alam bisa berikan kepada manusia untuk mencukupinya. Itulah manusia. Namun, ada sebuah moral yang bisa kita ambil dalam cerita tersebut yang harus selalu kita ingat dalam hidup ini bahwa alam bisa hidup tanpa kita, tetapi kita tidak mungkin hidup tanpa adanya alam. Oleh karena itu, bagaimana jika alam ini rusak sehingga tidak akan ada sumber daya lagi untuk kita gunakan untuk bertahan hidup?

Meskipun mungkin anggapan tersebut tidak akan sampai terjadi, tetapi mari kita pikirkan ulang. Akankah kita mau anak-anak kita hidup dalam suatu sistem yang tidak mengajarkan tentang kearifan dari alam, tetapi mereka diajarkan untuk menjadi masyarakat modern yang sekarang ini telah semakin terisolasi dan mengalami kesepian karena dipisahkan oleh alam dan dari orang-orang lain. Yang dalam hal ini menurut Erich Fromm, pakar psikologi, dari waktu ke waktu manusia akan menjadi semakin bebas dalam menentukan apapun mengenai hidupnya, akan tetapi mereka juga semakin merasa kesepian. Sehingga akibatnya adalah tercerabutnya manusia modern dari hubungan-hubungan akrab dan hangat atas dasar kemanusiaan belaka. Dan pada akhirnya telah menjadikan manusia menjadi mesin-mesin hidup. Maukah generasi kita selanjutnya menjadi seperti itu?

Banyak dari kita yang tidak tahu bahwa banyak Filosof terkenal di dunia kebanyakan menemukan berbagai macam bentuk pengetahuan dan kebijaksanaan dari kemampuannya untuk mengamati apa yang terjadi di alam. Archimedes menemukan teori gaya apung saat ia menceburkan dirinya ke dalam suatu bak yang penuh dengan air. Air itu kemudian tumpah dan segera setelah ia melihat air yang tumpah, akhirnya tercetuslah teori tersebut di kepalanya.Tanpa sadar, segera ia pun berlari keluar tanpa sehelai benangpun saking senangnya. Kita juga tentu masih ingat, bagaimana Newton bisa menemukan teori gravitasi lewat pengamatannya yang tidak sengaja ketika melihat apel yang jatuh dari pohonnya ketika merenung di bawah pohon. Saking kagumnya terhadap alam ini, sampai-sampai Einstein pun mengatakan,” Apa yang saya saksikan di alam adalah sebuah tatanan agung yang tidak dapat kita pahami dengan sangat tidak menyeluruh, dan hal itu sudah semestinya menjadikan seseorang yang senantiasa berpikir dilingkupi perasaan “rendah hati” ”.

Namun, apa yang terjadi saat ini, manusia telah banyak lupa terhadap kondisi lingkungannya sendiri. Kepentingan ekonomi telah banyak mengalahkan kepentingan untuk menjaga kelestarian alam itu sendiri. Kita mungkin sudah tahu apa yang bisa diakibatkan dari kerusakan alam. Dari berbagai macam media, kebanyakan dari kita sudah tahu peristiwa global warming berikut dampaknya baik terhadap lingkungan maupun manusia sendiri. Kita paham akibat dari salah pengelolaan lingkungan yang kadang kala kita juga menjadi korbannya. Namun, mari kita tengok realitas yang sedang terjadi saat ini.

Kenapa masih saja ada orang yang membuang sampah di kali-kali sehingga berakibat matinya ikan-ikan di situ? Kenapa masih saja ada orang yang seenaknya membangun rumah di lahan yang seharusnya digunakan untuk area penghijauan? Kenapa masih saja terjadi penebangan hutan secara liar dan parahnya semakin hari malah semakin terang-terangan?

Apakah sudah sedemikian akutnya kemiskinan di negeri ini sehingga ia mengaburkan pandangan kita? Ataukah kita yang tidak sadar/insyaf terhadap apa yang kita lakukan selama ini? Tidak sadar terhadap segala akibat yang kita lakukan dan hanya takut terhadap konsekuensinya saja seolah itu adalah takdir dari Tuhan?

Di zaman modern sekarang ini, memang kebanyakan dari kita telah lupa akan ajaran nenek moyang kita dulu untuk selalu hidup selaras dengan alam. Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, terbentang sepanjang tidak kurang dari 5.000 kilometer dari Sabang sampai Merauke dan tepat di garis khatulistiwa sehingga memiliki berbagai kekayaan alam. Oleh sebab itu, tidak  jarang dalam kita menerima kekayaan alam ini, kita memperlakukannya sebagai warisan nenek moyang dan kita lupa bahwa kekayaan alam ini adalah sesungguhnya titipan anak-cucu yang mesti kita pertahankan kelestariannya.

Ada hal menarik yang saya kutip dari yang ditulis oleh Kusmayanto Kadiman, Menteri Negara Riset dan Teknologi, mengenai kearifan lokal dan upaya menyikapi bencana alam. Mengingat Indonesia merupakan wilayah yang rawan bencana karena terbentang dan berada di perbatasan tiga   lempengan bumi: Eropa-Asia, Asia-Pasifik, dan Australia-Asia. Penanganan bencana alam akan lebih baik mengedepankan kearifan lokal yang ada pada tiap-tiap masyarakat daripada terlalu mengandalkan teknologi modern. Hal ini berdasar atas pengalaman di belahan dunia mana pun bahwa kearifan lokal justru yang banyak menuntun masyarakat saat berhadapan langsung dengan bencana.

Hal ini sudah terbukti seperti pada kejadian tsunami dahsyat yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 silam. Pulau Simeulue yakni sebuah Pulau di wilayah perairan pesisir barat Aceh yang notabene langsung berhadapan dengan tsunami langsung, terhitung jumlah korban jiwanya yang meninggal akibat tsunami di pulau tersebut tergolong sedikit yakni 6 jiwa dari total lebih 8.500 manusia yang tinggal di pulau tersebut. Ini sungguh mengejutkan. Hal ini terjadi karena ada kearifan lokal SMONG hingga sedikit warganya yang jadi korban. Smong di benak warga Simeulue sebenarnya berwujud gelombang pasang yang besar (seperti halnya tsunami) yang pernah terjadi pada 1907. Gelombang besar masa silam yang sempat menimbulkan korban oleh warga Simeulue dijadikan pengalaman pahit. Dari situlah akhirnya mereka berinisiatif, menemukan tanda-tanda terjadinya smong. Berkat hal tersebut jugalah akhirnya masyarakat Simeulue mendapatkan penghargaan internasional dari PBB yaitu SASAKAWA award for disaster reduction sebagai wujud pengakuan dunia atas budaya SMONG sebagai sistem peringatan dini tsunami.

Dan, tentu saja masih banyak hal yang lainnya terkait dengan kekayaan alam serta warisan budaya nenek moyang yang ditinggalkannya kepada kita. Namun, kebanyakan dari kita telah lupa akan hal tersebut karena telah banyak melupakan alam akibat tergiur akan kepentingan ekonomi dan pembangunan semata.

Sudah saatnya kita berubah. Cukuplah dengan dampak buruk yang telah kita rasakan selama ini akibat dari kita telah jauh dan tidak begitu menghargai alam. Maukah kita mewariskan alam yang telah rusak kepada anak-cucu kita? Atau, kita menjaga lingkungan ini mulai sekarang juga sehingga mereka juga bisa merasakan keindahan alam ini, serta belajar di dalamnya tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Semua kini ada di tangan kita.

It’s not matter of situation, it’s a choice.

Do you want to save our earth and don’t want to lost your way of the true life?   Act “GREEN” NOW.

– Beberapa sumber data dan yang menjadi referensi dari tulisan saya ini:

http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/manusia-modern.html

http://bataviase.co.id/node/448503

http://green.kompasiana.com/iklim/2010/11/02/tsunami-mentawai-dan-kearifan-smong-simeulue/

About royani

You could know everything about me in my linkedin page. I've put it in the sidebar beside. So gladly that you arrive in here. Hopefully that you will re-visit in other chance.
This entry was posted in lomba and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

26 Responses to Lestari Alamku, menjadi Selaras Hidupku

  1. Efraim Masarrang says:

    kereeennn….

  2. uchax says:

    Kunjungan balik di site yang indah ini…

  3. Artikel yg menarik mas. Pembukaan pake’ lirik lagu itu pas banget, saya suka lagunya.

  4. aziil anwar says:

    lanjutkan….setiap gerak…selemah apapun…sekecil apapun….jika itu untuk kepentingan bumi dan alam….niscaya akan menjadi investasi untuk kepribadian yang peduli

  5. iqbal920 says:

    Manusia memang sering lupa bahwa di alam ini kita bukan satu-satunya makhluk..

    Nice post gan, let’s save the world..

  6. faruq says:

    kunjungan perdana..
    salam kenal… ^_^

  7. Dheny says:

    sip udah di visit nih…sma sama newbie kok ^^

  8. annas says:

    kita memang gak boleh ngelupain warisan nenek moyang kita, bang. Salut deh buat tulisannya.

  9. Edi Kartono says:

    kunjungan balik, salam kenal 🙂

  10. nice info..!! terus posting ya..!

  11. n_dha says:

    great… 🙂
    bersama lindungi bumi Qt….
    aza..aza… fighting!! b^_^d

  12. Pingback: Hidupku tak bisa lepas dari alam. « POETAT City

  13. neno rizkianto says:

    izin ambil artikelnya untuk bahan promosi pariwisata berkelanjutan.
    salam kenal.

  14. Ryna Safitri says:

    Gombloh bersama Lemon Tree’s sbg Legenda 70an Indonesia ..

Leave a reply to royani Cancel reply